BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kehamilan umumnya berlangsung 40
minggu atau 280 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan aterm
adalah usia kandungan antara 38-40 minggu dan ini merupakan periode terjadinya
persalinan normal. Namun, sekitar 3,4-14% atau rata-rata 10% kehamilan
berlangsung sampai 42 minggu atau lebih. Angka ini bervariasi dari bebearpa
penelitian bergantung pada kriteria yang dipakai.
Kehamilan lewat waktu adalah
kehamilan yang melewati 294 hari atau 42 minggu lengkap dihitung dari hari
pertama haid terakhir menurut rumus Neagle dengan siklus haid rata-rata 28 hari
dan belum terjadi persalinan. Kehamilan lewat waktu merupakan salah satu
kehamilan yang beresiko tinggi, di mana dapat terjadi komplikasi pada ibu dan
janin. Diagnosis usia kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan dari
perhitungan usia kehamilan, seperti rumus Naegele atau dengan tinggi fundus
uteri serial.
Kehamilan postterm mempunyai resiko
lebih tinggi daripada kehamilan aterm, terutama terhadap kematian perinatal
(antepartum, intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekonium
dan asfiksia.
Kehamilan postterm terutama
berpengaruh terhadap janin, meskipun hal ini masih banyak diperdebatkan dan
sampai sekarang masih belum ada persesuaian paham. Dalam kenyataannya kehamilan
postterm mempunyai pengaruh terhadap perkembangan janin sampai kematian janin.
Ada janin yang dalam masa kehamilan 42 minggu atau lebih berat badannya meningkat
terus, ada yang tidak bertambah, ada yang lahir dengan berat badan kurang dari
semestinya, atau meninggal dalam kandungan karena kekurangan zat makanan dan
oksigen.
Kehamilan postterm mempunyai
hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas perinatal, atau makrosomia.
Sementara itu, risiko bagi ibu dengan kehamilan postterm dapat berupa
perdarahan pascapersalinan ataupun tindakan obstetrik yang meningkat. Berbeda
dengan angka kematian ibu yang cenderung menurun, kematian perinatal tampaknya
masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, sehingga pemahaman dan
penatalaksanaan yang tepat terhadap kehamilan postterm akan memberikan
sumbangan besar dalam upaya menurunkan angka kematian, terutama kematian
perinatal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari postterm?
2. Apa etiologi dari postterm?
3. Apa patofisiologi dari postterm?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari
postterm?
5. Bagaimana diagnosis dari postterm?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari
postterm?
7. Bagaimana pencegahan terjadinya
postterm?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari
postterm
2. Untuk mengetahui etiologi dari
postterm
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari
posterm
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis
dari postterm
5. Untuk mengetahui diagnosis dari
postterm
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan
dari postterm
7. Untuk mengetahui pencegahan dari
postterm
BAB II
LANDASAN TEORITIS
LANDASAN TEORITIS
A.Pengertian
Persalinan postterm adalah
persalinan melampaui umur hamil 42 minggu dan pada janin terdapat tanda postmaturitas
(Manuaba, 2007).
Definisi standar untuk kehamilan dan
persalinan lewat bulan adalah 294 hari setelah hari pertama menstruasi
terakhir, atau 280 hari setelah ovulasi. Istilah lewat bulan (postdate)
digunakan karena tidak menyatakan secara langsung pemahaman mengenai lama
kehamilan dan maturitas janin ( Varney Helen, 2007).
Persalinan postterm menunjukkan
kehamilan berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari
hari pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata
28 hari (Prawirohardjo, 2008).
Beberapa istilah dalam kehamilan lewat waktu,yaitu:
1. Posdate yaitu kehamilan lewat HPL
2. Postterm yaitu kehamilan lewat 42
minggu
3. Postmature yaitu kehamilan dengan
tanda-tanda postmaturitas
B.Etiologi
Etiologi belum diketahui secara
pasti namun faktor yang dikemukaan adalah hormonal, yaitu kadar progesteron
tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan sehingga kepekaan uterus
terhadap oksitosin berkurang. Faktor lain seperti herediter, karena postmaturitas
sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu (Rustam, 1998).
Menjelang persalinan terdapat
penurunan progesteron, peningkatan oksitosin tubuh dan reseptor terhadap
oksitosin sehingga otot rahim semakin sensitif terhadap rangsangan. Pada kehamilan
lewat waktu terjadi sebaliknya, otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan,
karena ketegangan psikologis atau kelainan pada rahim (Manuaba, 1998).
Menurut Sujiyatini (2009),
etiologinya yaitu penurunan kadar esterogen pada kehamilan normal umumnya tinggi.
Faktor hormonal yaitu kadar progesterone tidak cepat turun walaupun kehamilan
telah cukup bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang.
Factor lain adalah hereditas, karena post matur sering dijumpai pada suatu
keluarga tertentu.
Fungsi plasenta memuncak pada usia
kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun setelah 42 minggu, terlihat dari
menurunnya kadar estrogen dan laktogen plasenta. Terjadi juga spasme arteri
spiralis plasenta. Akibatnya dapat terjadi gangguan suplai oksigen dan nutrisi
untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin. Sirkulasi uteroplasenta
berkurang sampai 50%. Volume air ketuban juga berkurang karena mulai terjadi
absorpsi. Keadaan-keadaan ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk janin.
Risiko kematian perinatal pada bayi postmatur cukup tinggi, yaitu 30%
prepartum, 55% intrapartum, dan 15% postpartum.
Sebab
Terjadinya Kehamilan Postterm
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai
saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap
timbulnya persalinan. Beberapa teori diajukan antara lain sebagai berikut
:
1.
Pengaruh Progesteron
Penurunan
hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian perubahan
endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekuler pada persalinan dan
meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa penulis
menduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya
pengaruh progesterone
2.
Teori Oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi
persalinan pada kehamilan postterm memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin
secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan
pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia
kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm.
3.
Teori Kortisol/ACTH Janin
Dalam teori ini diajukan bahwa
“pemberi tanda” untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat
peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan
mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar
sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi
prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal
janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol
janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat
bulan.
4.
Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis
dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di
mana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali
pusat pendek dan bagian bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab
terjadinya kehamilan postterm.
5.
Herediter
Beberapa
penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan postterm
mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya.
Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorang ibu
mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan
anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.
C. Patofisiologi
Pada kehamilan lewat waktu terjadi
penurunan oksitosin sehingga tidak menyebabkan adanya his, dan terjadi
penundaan persalinan. Permasalahan kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak
sanggup memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga
janin mempunyai resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim (Manuaba, 1998).
Sindroma postmaturitas yaitu kulit
keriput dan telapak tangan terkelupas, tubuh panjang dan kurus, vernic caseosa
menghilang, wajah seperti orang tua, kuku panjang, tali pusat selaput ketuban
berwarna kehijauan. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 34-36
minggu dan setelah itu terus mengalami penurunan. Pada kehamilan postterm dapat
terjadi penurunan fungsi plasenta sehingga bisa menyebabkan gawat janin. Bila
keadaan plasenta tidak mengalami insufisiensi maka janin postterm dapat tumbuh
terus namun tubuh anak akan menjadi besar (makrosomia) dan dapat menyebabkan
distosia bahu.
Risiko kehamilan lewat waktu
Risiko kehamilan lewat waktu antara
lain adalah gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, sampai kematian janin
dalam rahim.
Resiko gawat janin dapat terjadi 3
kali dari pada kehamilan aterm. Kulit janin akan menjadi keriput, lemak di
bawah kulit menipis bahkan sampai hilang, lama-lama kulit janin dapat
mengelupas dan mengering seperti kertas perkamen. Rambut dan kuku memanjang dan
cairan ketuban berkurang sampai habis.
Akibat kekurangan oksigen akan
terjadi gawat janin yang menyebabkan janin buang air besar dalam rahim yang
akan mewarnai cairan ketuban menjadi hijau pekat. Pada saat janin lahir dapat
terjadi aspirasi (cairan terisap ke dalam saluran napas) air ketuban yang dapat
menimbulkan kumpulan gejala MAS (meconeum aspiration syndrome). Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian janin.
Komplikasi yang dapat mungkin
terjadi pada bayi ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, polisitemia, dan
kelainan neurologik. Kehamilan lewat bulan dapat juga menyebabkan resiko pada
ibu, antara lain distosia karena aksi uterus tidak terkoordinir, janin besar,
dan moulding (moulage) kepala kurang. Sehingga sering dijumpai partus lama,
kesalahan letak, inersia uteri, distosia bahu, dan perdarahan postpartum.
D. Manifestasi Klinis
Keadaan klinis yang dapat ditemukan ialah
gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20 menit
atau secara obyektif dengan KTG kurang dari 10 kali/20 menit.
Air ketuban berkurang dengan atau tanpa pengapuran
(klasifikasi) plasenta diketahui dengan pemeriksaan USG.
Pada bayi akan ditemukan tanda-tanda lewat waktu yang
terbagi menjadi :
1. Stadium I : kulit
kehilangan verniks kaseosa dan terjadi maserasi sehingga kulit
kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
2. Stadium II : seperti
Stadium I disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) di kulit.
3. Stadium III: seperti Stadium I
disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.
Menurut Muchtar (1998), pengaruh dari serotinus adalah :
v Terhadap Ibu :
Pengaruh postmatur dapat menyebabkan
distosia karena aksi uterus tidak terkoordinir, maka akan sering dijumpai patus
lama, inersia uteri, dan perdarahan postpartum.
v Terhadap Bayi :
Jumlah kematian janin/bayi pada
kehamilan 43 minggu 3 kali lebih besar dari kehamilan 40 minggu, karena
postmaturitas akan menambah bahaya pada janin. Pengaruh postmaturitas pada
janin bervariasi seperti berat badan janin dapat bertambah besar, tetap dan ada
yang berkurang sesudah kehamilan 42 minggu. Ada pula yang terjadi kematian
janin dalam kandungan, kesalahan letak, distosia bahu, janin besar, moulage.
Tanda
bayi Postmatur (Manuaba, Ida Bagus Gde, 1998), yaitu :
1.
Biasanya
lebih berat dari bayi matur (> 4000 gram)
2.
Tulang
dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur
3.
Rambut
lanugo hilang atau sangat kurang
4.
Verniks
kaseosa di badan kurang
5.
Kuku-kuku
panjang
6.
Rambut
kepala agak tebal
7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi
epitel
E. Diagnosis
Tidak jarang seorang dokter
mengalami kesulitan dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm karena
diagnosis ini ditegakkan berdasarkan umur kehamilan, bukan terhadap kondisi
kehamilan. Beberapa kasus yang dinyatakan sebagai kehamilan postterm merupakan
kesalahan dalam menentukan umur kehamilan. Kasus kehamilan postterm yang tidak
dapat ditegakkan secara pasti diperkirakan sebesar 22%.
Diagnosis kehamilan lewat waktu
biasanya dari perhitungan rumus Naegele setelah mempertimbangkan siklus haid
dan keadaan klinis. Bila ada keraguan, maka pengukuran tinggi fundus uterus
serial dengan sentimeter akan memberikan informasi mengenai usia gestasi lebih
tepat. Keadaan klinis yang mungkin ditemukan ialah air ketuban yang berkurang
dan gerakan janin yang jarang.
Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping
dari riwayat haid, sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mendiagnosis
kehamilan lewat waktu, antara lain :
1.
HPHT
jelas.
2.
Dirasakan
gerakan janin pada umur kehamilan 16-18 minggu.
3.
Terdengar
denyut jantung janin (normal 10-12 minggu dengan Doppler, dan 19-20 minggu
dengan fetoskop).
4.
Umur
kehamilan yang sudah ditetapkan dengan USG pada umur kehamilan kurang dari atau
sama dengan 20 minggu.
5. Tes kehamilan (urin) sudah positif
dalam 6 minggu pertama telat haid.
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sujiyatini dkk (2009),
pemeriksaan penunjang yaitu USG untuk menilai usia kehamilan, oligohidramnion,
derajat maturitas plasenta. KTG untuk menilai ada atau tidaknya gawat janin.
Menurut Mochtar (1998), pemeriksaan
penunjang sangat penting dilakukan, seperti pemeriksaan berat badan ibu,
diikuti kapan berkurangnya berat badan, lingkaran perut dan jumlah air ketuban.
Pemeriksaan yang
dilakukan seperti :
1. Bila wanita hamil tidak tahu atau
lupa dengan haid terakhir setelah persalinan yang lalu, dan ibu menjadi hamil
maka ibu harus memeriksakan kehamilannya dengan teratur, dapat diikuti dengan
tinggi fundus uteri, mulainya gerakan janin dan besarnya janin dapat membantu
diagnosis.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi dilakukan
untuk memeriksa ukuran diameter biparietal, gerakan janin dan jumlah air
ketuban. Bila telah dilakukan pemeriksaan USG serial terutama sejak trimester
pertama, maka hampir dapat dipastikan usia kehamilan. Sebaliknya pemeriksaan
yang sesaat setelah trimester III sukar untuk memastikan usia kehamilan.
Pemeriksaan Ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk
menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion (AFI),
ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.
3. Pemeriksaan berat badan ibu, dengan
memantau kenaikan berat badan setiap kali periksa, terjadi penurunan atau
kenaikan berat badan ibu.
4. Pemeriksaan Amnioskopi dilakukan
untuk melihat derajat kekeruhan air ketuban menurut warnanya yaitu bila keruh
dan kehitaman berarti air ketuban bercampur mekonium dan bisa mengakibatkan
gawat janin (Prawirohardjo, 2005).
Kematangan serviks tidak bisa dipakai untuk menentukan usia
kehamilan. Yang paling penting dalam menangani kehamilan lewat waktu ialah
menentukan keadaan janin, karena setiap keterlambatan akan menimbulkan resiko
kegawatan.
Penentuan keadaan janin dapat dilakukan :
1. Tes tanpa tekanan (non stress
test).
Bila memperoleh hasil non reaktif
maka dilanjutkan dengan tes tekanan oksitosin. Bila diperoleh hasil reaktif
maka nilai spesifisitas 98,8% menunjukkan kemungkinan besar janin baik.
2. Gerakan janin.
Gerakan janin dapat ditentukan
secara subjektif (normal rata-rata 7 kali/20 menit) atau secara objektif dengan
tokografi (normal rata-rata 10 kali/20 menit), dapat juga ditentukan dengan
USG. Penilaian banyaknya air ketuban secara kualitatif dengan USG (normal >
1 cm/bidang) memberikan gambaran banyaknya air ketuban, bila ternyata
oligohidramnion, maka kemungkinan telah terjadi kehamilan lewat waktu.
3. Amnioskopi.
Bila ditemukan air ketuban yang
banyak dan jernih mungkin keadaan janin masih baik. Sebaliknya air ketuban sedikit
dan mengandung mekonium akan mengalami resiko 33% asfiksia.
F. Penatalaksanaan
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling
berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan kehamilan posterm
harus dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit
dengan pelayanan operatif dan perawatan neonatal yang memadai.
Prinsip dari tata laksana kehamilan lewat waktu ialah
merencanakan pengakhiran kehamilan. Cara pengakhiran kehamilan tergantung dari
hasil pemeriksaan kesejahteraan janin dan penilaian skor pelvik (pelvic
score).
Ada beberapa cara untuk penatalaksanaan kehamilan posterm,
antara lain :
v Induksi partus dengan pemasangan
balon kateter Foley.
v Induksi dengan oksitosin.
v Bedah seksio sesaria.
The American College of
Obstetricians and Gynecologist mempertimbangkan bahwa kehamilan postterm (42 minggu)
adalah indikasi induksi persalinan. Penelitian menyarankan induksi persalinan
antara umur kehamilan 41-42 minggu menurunkan angka kematian janin dan biaya
monitoring janin lebih rendah.
Dalam mengakhiri kehamilan dengan
induksi oksitosin, pasien harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1. Kehamilan aterm
2. Ada kemunduran his
3. Ukuran panggul normal
4. Tidak ada disproporsi sefalopelvik
5. Janin presentasi kepala
6. Serviks sudah matang (porsio teraba
lunak, mulai mendatar, dan mulai membuka).
7. Sudah dilakukan pengukuran pelvik sebelumnya.
Table 1. Skor Bishop
0
|
1
|
2
|
3
|
|
Pendataran
serviks
|
0-30%
|
40-50%
|
60-70%
|
80%
|
Pembukaan
serviks
|
0
|
1-2
|
3-4
|
5-6
|
Penurunan
kepala dari Hodge III
|
-3
|
-2
|
-1,
0
|
+1,
+2
|
Konsistensi
serviks
|
Keras
|
Sedang
|
Lunak
|
|
Posisi
serviks
|
Posterior
|
Searah
sumbu jalan lahir
|
Anterior
|
|
·
Bila
nilai pelvis (PS) > 8, maka induksi persalinan kemungkinan besar akan
berhasil.
·
Bila
PS > 5, dapat dilakukan drip oksitosin.
·
Bila
PS < 5, dapat dilakukan pematangan servik terlebih dahulu, kemudian
lakukan pengukuran PS lagi.
|
Tatalaksana yang biasa dilakukan
ialah induksi dengan Oksitosin 5 IU. Sebelum dilakukan induksi, pasien dinilai
terlebih dahulu kesejahteraan janinnya dengan alat KTG, serta diukur skor
pelvisnya. Jika keadaan janin baik dan skor pelvis > 5, maka induksi persalinan
dapat dilakukan. Induksi persalinan dilakukan dengan Oksitosin 5 IU dalam infus
Dextrose 5%. Tetesan infus dimulai dengan 8 tetes/menit, lalu dinaikkan tiap 30
menit sebanyak 4 tetes/menit hingga timbul his yang adekuat.
Selama pemberian infus, kesejahteraan
janin tetap diperhatikan karena dikhawatirkan dapat timbul gawat janin. Setelah
timbul his adekuat, tetesan infus dipertahankan hingga persalinan. Namun, jika
infus pertama habis dan his adekuat belum muncul, dapat diberikan infus drip
Oksitosin 5 IU ulangan. Jika his adekuat yang diharapkan tidak muncul, dapat
dipertimbangkan terminasi dengan seksio sesaria.
Tindakan operasi seksio cecaria dapat dipertimbangkan pada :
v Insufisiensi plasenta dengan keadaan
serviks belum matang
v Pembukaan yang belum lengkap,
persalinan lama dan terjadi gawat janin, atau
v Pada primigravida tua, kematian
janin dalam kandungan, pre-eklampsia, hipertensi menahun, anak berharga
(infertilitas) dan kesalahan letak janin.
Pada kehamilan yang telah melewati 40 minggu dan belum
menunjukkan tanda-tanda inpartu, biasanya langsung segera diterminasi agar
resiko kehamilan dapat diminimalis.
G. Komplikasi
Menurut Mochtar (1998), komplikasi yang terjadi pada
kehamilan serotinus
yaitu :
a. Plasenta
v Selaput vaskulosinsisial menebal dan
jumlahnya berkurang
v Degenerasi jaringan plasenta
v Perubahan biokimia
b.Komplikasi pada Ibu
Komplikasi
yang terjadi pada ibu dapat menyebabkan partus lama, inersia uteri, atonia
uteri dan perdarahan postpartum.
c.Komplikasi pada Janin
Komplikasi
yang terjadi pada bayi seperti berat badan janin bertambah besar, tetap atau
berkurang, serta dapat terjadi kematian janin dalam kandungan.
Menurut Prawirohardjo (2006),
komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu komplikasi pada janin. Komplikasi
yang terjadi pada bayi seperti gawat janin, gerakan janin berkurang, kematian
janin, asfiksia neonaturum dan kelainan letak.
Menurut Achdiat (2004),
komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu komplikasi pada janin.
Komplikasi yang terjadi seperti kelainan kongenital, sindroma aspirasi
mekonium, gawat janin dalam persalinan, bayi besar (makrosomia) atau
pertumbuhan janin terlambat, kelainan jangka panjang pada bayi.
H. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur, minimal 4 kali selama kehamilan,
1 kali pada trimester pertama (sebelum 12 minggu), 1 kali pada trimester ke dua
(antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2 kali trimester ketiga (di atas 28
minggu). Bila keadaan memungkinkan, pemeriksaan kehamilan dilakukan 1 bulan
sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali pada kehamilan 7-8 bulan dan
seminggu sekali pada bulan terakhir. Hal ini akan menjamin ibu dan dokter
mengetahui dengan benar usia kehamilan, dan mencegah terjadinya kehamilan postterm
yang berbahaya. Perhitungan dengan satuan minggu seperti yang digunakan para
dokter kandungan merupakan perhitungan yang lebih tepat. Untuk itu perlu
diketahui dengan tepat tanggal hari pertama haid terakhir seorang (calon) ibu
itu.
Pengelolaan selama persalinan adalah :
1. Pemantauan yang baik terhadap ibu (
aktivitas uterus ) dan kesejahteraan janin. Pemakaian continous electronic
fetal monitoring sangat bermanfaat
2. Hindari penggunaan obat penenang
atau analgetika selama persalinan.
3. Awasi jalannya persalinan
4. Persiapan oksigen dan bedah sesar
bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin
5. Cegah terjadinya aspirasi mekoneum
dengan segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan
saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur
mekoneum.
6. Pengawasan ketat terhadap neonatus
dengan tanda-tanda postmaturitas
Tindakan-tindakan yang dilakukan :
v Terhadap ibu :
Langkah-langkah tindakan induksi
v Terhadap bayi : Langkah- langkah
penanganan Asfiksia bayi baru lahir
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar